2.muncul nya nasionalisme di indonesia
SEJARAH nasional Indonesia tidak selalu harus berkaitan dengan partai politik dan kolonialisme. Kebebasan yang merupakan salah satu jiwa dari nasionalisme dapat digunakan untuk melihat munculnya generasi muda yang memberontak terhadap berbagai tradisi, (Bambang Purwanto, 2005).
Setiap 20 Mei, di negeri ini diperingati Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) sebagai sebuah refleksi positif bagi bangsa Indonesia.
Peringatan Harkitnas menjadi sesuatu yang penting ketika dijadikan sebuah refleksi bagi bangsa yang sedang membangun dari berbagai aspek kehidupan. Paling tidak bagi seluruh komponen masyarakat ini, baik penyelenggara negara (pemerintah) dan jajarannya. Masyarakat pada umumnya memiliki kesadaran sejarah yang tinggi untuk kemudian dijadikan sebagai bahan pelajaran, bahwa dulu kita pernah bangkit.
Kesadaran itu tentu sangat berpotensi untuk meningkatkan atau membangunkan kembali anak bangsa yang sedang terlelap. Kesadaran itu sangat diharapkan pula mampu ‘membius’ masyarakat Indonesia agar dapat berkarya lebih baik, produktif, tidak konsumtif dan tentu dapat berkompetisi dan bersanding dengan negara lain di dunia. Paling tidak di Asia.
Selama ini, kita mempunyai pemahaman tentang cerita bagaimana proses bangkitnya masyarakat Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Cerita itu bisa saja diperoleh dari guru sejarah, pemerhati sejarah, sejarawan atau buku sejarah. Kesamaan cerita itu paling tidak memberikan gambaran bahwa, kebangkitan nasional muncul akibat kolonialisme.
Tentu kesimpulan itu tidak seutuhnya salah, karena memang salah satu pemicu bangkitnya bangsa ini karena adanya eksploitasi sumberdaya manusia (SDM) dan sumber daya alam (SDA) oleh Pemerintah Hindia Belanda sejak kedatangannya (VOC, 1602).
Kita semua tahu, berdasarkan buku sejarah yang kita baca, selalu menjelaskan bagaimana aktivitas Pemerintah Hindia Belanda selama menginjakkan kakinya di negeri ini.
Kesalahan cara berpikir tentang nasionalisme muncul ketika disimpulkan, bahwa bangkitnya bangsa ini semata-mata karena adanya kolonialisme dan imperialisme. Kesalahan itu terus berlanjut.
Kita tidak mampu menjelaskan kepada peserta didik persoalan realitas sosial sejarah bangsa ini ketika dijajah. Apakah misalnya ketika kita tidak dijajah Belanda, kita tidak akan pernah bangkit?
Seharusnya pertanyaan itu dijawab ‘tidak’, dengan alasan bahwa bangkitnya masyarakat pribumi karena menginginkan ‘kebebasan’, dan kehidupan yang lebih baik dari segala bidang kehidupan politik, ekonomi, sosial, budaya dan agama.
Kenyataan tersebut mengharuskan kita untuk mendefinisikan ulang tentang nasionalisme Indonesia. Hal itu perlu dilakukan sebagai upaya memahami kembali realitas sosial pada masa lalu bangsa ini, sehingga sejarah lebih adil dalam memberikan keterangan kepada masyarakat luas.
Definisi ulang di sini tidak dimaksudkan untuk mengatakan, bahwa apa yang telah disampaikan guru dan buku tentang kebangkitan nasional salah. Namun hanya ingin mengatakan bahwa perlu sedikit memahami jika dalam memahami nasionalisme itu tidak selalu berkaitan dengan kolonialisme.
Kolonialisme adalah sebuah entitas yang ada pada waktu itu, yang juga merupakan bagian faktor pendorong munculnya nasionalisme Indonesia. Namun, ada hal penting lainnya yang seperti (sengaja) dilupakan, yakni memahami perasaan masyarakat pribumi (khususnya pemuda) pada waktu itu.
Pada awal abad ke-20, pemuda memahami arti penting sebuah ‘kebebasan’ dan keadilan. Pemuda Cokro, Sutomo, Sukarno dan lainnya adalah orang yang merasakan penting kebebasan dan keadilan yang harus terus diperjuangkan. Jadi, proseslah yang kemudian membentuk ide nasionalisme itu yang terakumulasi pada 20 Mei 1908 Yakni terbentuknya organisasi sosial kultural Budi Utomo. Puncaknya 28 Oktober 1928, yakni, dikrarkannya ‘Sumpah Pemuda’, yaitu satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa yakni Indonesia.
Upaya pemuda membentuk berbagai organisasi, baik organisasi kebangsaan, keagamaan dan sosial kultural sebagai wadah untuk memperjuangkan nilai-nilai kebebasan dan keadilan.
Muncullah kemudian Budi Utomo, Sarekat Islam (SI), Indische Partij (IP), PNI sebagai organisasi beraliran kebangsaan, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Musyawaratutthalibin (organisasi lokal terbesar di Kalimantan, 1931) sebagai organisasi keagamaan, serta berbagai organisasi sosial kultural seperti Taman Siswa (Tamsis).
Bagaimana elite pemuda pribumi menggapai cita-cita kebebasan dan keadilan? Hal itu tampak dalam berbagai program dan orientasi organisasi yang mereka jalankan. Misalnya, SI getol memperjuangkan ekonomi kerakyatan, yakni dengan usaha batik di Solo. Melalui gerakan itu, diharapkan masyarakat Indonesia dapat hidup sejahtera tanpa tergantung kepada orang lain.
Karena itu, tidak berlebihan jika pemahaman kita tentang kebangkitan nasional atau nasionalisme Indonesia tidaklah selalu diidentikkan dengan kolonialisme. Tetapi bagaimana kita memandang bahwa proses sejarah yang tampak merupakan sebuah upaya meraih cita-cita kebebasan dan keadilan. Upaya mendobrak tradisi yang memasung kebebasan dan keadilan.
Hal itu tampak ketika berbagai elite kebangsaan (sekuler) dan agama (religious) secara bersama-sama melakukan aktivitas politik, ekonomi, sosial, budaya (pendidikan) dan agama, dalam rangka mengangkat harkat dan derajat masyarakat pribumi sejak awal abad ke-20.
Berdasarkan hal itu pula, maka dapat disimpulkan bahwa nasionalisme adalah sebuah gejala modern yang muncul pada awal abad ke-20. Hal itup penting disampaikan sebagai sebuah dekonstruksi atas fakta yang menyatakan bahwa nasionalisme Indonesia sudah ada sebelum abad ke-20.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar